Kita
bangsa yang besar dan kita bukan Bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita
tdk akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan
syarat ini syarat itu ! Lebih baik mkn gaplek tetapi merdeka, dari pada makan
bestik tetapi budak. "Pidato HUT Proklamasi, 1963"
Satu kutipan pidato sang
proklamator Soekarno ini yang sejarahnya mulai ditinggalkan ini adalah
hal yang terkait kekuatan yang dipercayakan kepada Indonesia untuk lebih berani
mandiri dan memasang wajah dengan kekuatan sendiri dengan karakter
"Kebhinnekaan " yang dilahirkan bangsa ini, pidato yang bukan hanya
jargon politik dengan orientasi yang hampa, kta akan memulai tulisan ini dengan
pendekatan salah satu nilai Ideologi yaitu "Imperialisme", kalau
dibandingkan dengan semangat soekarno diatas kita mendapati diri bangsa ini
telah tauh dalam stagnal doktrinal yang kehilangan sangkar kejantanannya, hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah fakta bahwa ada saja ketimpangan yang terjadi di ASEAN dan Perjanjian-perjanjian Internasional maka kerugian akan menghampiri Indonesia sebagai negara yang palign dirugikan bahkan hanya dijadikan sebagai alat dan pelengkap jumlah negara saja, apakah proposisi awal ini sesuai dengan paparan dibawah ini atau tidak, kita akan mengurainya.
Pancasila sebagai dasar negara lahir dengan semangat para pendiri bangsa ini
tetapi ada salah satu sifat yang mempunyai dampak yang dominan negatif,dengan
sifatnya yang terbuka selalu di identikkan dengan keterbukaan kita dalam
pergaulan dalam globalisasi dan kerjasama bilateral, banyak dari teman-teman
DPR selalu melihat hal ini sebagai prestasi kita karna dunia telah mengakui
sumbangsih dalam keterlibatan indonesia didalamnya dan hal yang paling membuat
teman berdasi itu bangga adalah banyaknya Undang-undang yang berpihak pada pemangkuh
dana besar dunia (berojuism structur).
apa yang dimaksud dengan Imperialisme? Imperialisme dapat diartikan sebagai paham
keterbukaan yang bebas dari negara untuk menerapkan sebuah pembaruan dari
negara lain seperti perjanjian dan kerjasama dalam berbagai hal dalam aspek
kehidupan, Ekonomi, Sosial, Politik, maupun budaya. Nah bagaimana Indonesia
memposisikan dirinya dimana menjadi sebuah hukumyang sanagat lumrah dimana
ke-Autentikan sebuah bangsa dinilai seberapa jauh nilai-nilai dan kultur asli
itu dapat berkembang dan dapat dijadikan budaya dengan pasti memberikan
kemanfaatn yang lebih kepada masyarakat. seperti yang telah terjadi Indonesia
sudah banyak membuka lapang kerjasama dalam ranah Internasional maupun
Bilateral dua negara serta organisasi Internasional, pertamyaannya
bagaimana dari akumalsi perjanjian-perjanjian yang dilakukan pemerintah
(Negara) untuk memberikan manfaat yang lebih tanpa menghilangkan kesejatian dan
nilai luhur bangsa sebagai bangsa yang mejemuk dan penghargaan terhadap nilai
etik???
Menurut penulis ada
bebrapa bentuk perjanjian yang sangat memberikan efek yang tidak pantas
ditandatangani dimeja perjanjian seperti Nota kesepahaman mengenai Panduan Umum
Penanganan Nelayan oleh Badan Penegakan Hukum Malaysia dan Indonesia
ditandatangani Indonesia-Malaysia pada 27 Januari 2012.Nota kesepahaman itu
berpotensi dimanfaatkan untuk pelanggaran penangkapan ikan. "Dengan nota
kesepahaman itu, Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk menangkap kapal
berbendera Malaysia yang masuk ke perairan Indonesia. Posisi kita banyak
rugi,".Hingga April 2012, jumlah kapal ikan ilegal yang ditangkap
berjumlah 90 unit dengan nakhoda dan awak kapal yang ditangkap mencapai 38
orang. Kapal yang ditangkap berasal dari negara tetangga, seperti China,
Vietnam, Filipina, dan Thailand. ditambah Perjanjian ekstradisi dengan Singapura jelas
sangat merugikan Indonesia karena dalam hal mengekstradisi pelaku korupsi yang
ada di negeri itu digabungkan dalam kerja sama pertahanan bagi kedua
negara.kalau Indonesia menerima kerja sama tersebut, bisa saja Singapura
melaksanakan latihan militer dengan Amerika Serikat atau negara-negara lainnya
di wilayah NKRI ini.
Bahkan, latihan militer bagi negara-negara asing di Indonesia
ini, akan dimanfaatkan untuk mematai-matai mengenai pertahanan dan keamanan
Indonesia.Perjanjian
tarif pajak impor dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA), yang menetapkan maksimal
sebesar lima persen, justru belakangan merugikan Indonesia. Perjanjian itu,
kata Hikmahanto dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, justru dimanfaatkan
oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengindari bea pajak yang
tinggi.
Perusahaan
otomotif dari Amerika Serikat, Ford misalnya. Perusahaan pembuat kendaraan roda
empat ini, kemudian mendirikan pabrik di salah satu negara ASEAN, dan
mengekspor produknya ke sesama negara di Asia Tenggara itu. "Kalau langsung
ekspor dari Amerika serikat, produk mereka akan dikenai pajak 300 persen.
Dengan perjanjian ini mereka hanya bayar lima persen,"
Sayangnya,
pabrik yang dibuat, justru lebih banyak didirikan di Vietnam dan Thailand.
"Mereka menilai, Indonesia adalah negara dengan resiko tinggi karena
korupsi yang parah dan buruhnya galak,
dengan
perjanjian ini kepentingan nasional Indonesia secara tidak langsung telah
diugikan. Investasi justru tidak berkembang. "Jangan karena atas nama
solidaritas ASEAN, Indonesia malah dirugikan,
Jadi
kesimpulannya "Kita harus lebih bijak Melihat realitas dan urgensi dalam
bengsa kita terlebih dahulu sebelum mengadakan perjanjian-perjanjian yang entah
itu memberikan efek yang positif atau tidak bagi kedaulatan dan kesejahteraan
rakyat, tetapi kita tidak ingin terkucilkan dalam pergulatan dunia apalagi
sembunyi tanpa memperlihatkan kekuatan kita sendiri kepada bangsa-bangsa lain,
pemerintah hendaknya lebih jeli dan membangun komunikasi yang lebih
komprehensif kepada pakar ahli-ahli hukum, sosial dan konsentrasi lainnya demi
mencapai kesepahaman yang mencerminkan nilai yang berimbang.
Teringat pada filosof rasionalis Rene Descartes mengatakan keberadaan
suatu negara yang membuka kerjasama dengan negara lain akan berdampak kepada
masyarakat lapisan bawah, apa makna yang ingin disampaikan dalam pernyatan ini
adalah kerjasama jika hanya melihat aspek bilateral dan eksistensi sebuah
negara akan selalu dilihat peundang bagi masyarakat hukum adat lainnya.
imperialisme yang
dihadapi Indonesia pada zaman modern ini adalah bentuk dari imperialisme
modern. Jika sebelum Indonesia merdeka bentuk imperialisme ini adalah 3G (Gold,
Glory, and Gospel), tapi di imperialisme
modern ini lebih condong terhadap metode ekonomi yang di gunakan untuk
mendapatkan kapital surplus. Imperialisme modern atau sering disebut dengan
imperialisme ekonomi, dengan penanaman modal asing sebagai metodenya dan
diyakini sangat ampuh dalam melakukan imperialisme ekonomi di suatu negara.
Selain itu, didalam imperialisme ekonomi ini walaupun secara politis suatu
negara memiliki kedaulatan penuh, namun kebijakan
ekonomi negara tersebut sangat dipengaruhi dan bergantung pada imperialis.
Imperialisme modern atau imperialisme ekonomi ini juga ditandai dengan
kemunculan perusahaan Transnational atau MNC yang sering menimbulkan persoalan
baik sosial, ekonomi, dan politik di negara penerima (host country).
Persoalan ini sangat
terlihat di Indonesia, dimana banyak perusahaan-perusahaan asing yang sering
menimbulkan persoalan, terutama sosial, di wilayah imperialismenya. Contohnya,
rencana penambangan pasir yang terjadi di pesisir Kulon Progo sangat
menimbulkan masalah terutama bagi masyarakat pesisir di Kulon Progo itu
sendiri, masyarakat setempat yang sudah lama bermata pencaharian bertani,
dipaksa berhenti dari pekerjaan yang telah mereka tekuni dari tahun 1960-an.
Walaupun royalti sebesar Rp.400 miliar akan diberikan, apakah benar uang
tersebut dapat didistribusikan secara rata ke masyarakat setempat? Ini adalah
teka-teki besar seiring dengan budaya korupsi yang sering terjadi di Indonesia.
Dengan demikian, petani di Kulon Progo yang sedang dalam tingkat kesuksesan
mereka, karena diperkirakan setiap musim panen tiba, keuntungan yang didapatkan
adalah bekisar belasan juta rupiah untuk sekali panen.
Dengan dipaksakannya
mereka untuk berhenti dari pekerjaannya jelas sangat-sangat menyiksa bagi
masyarakat pesisir Kulon Progo tersebut, apalagi setelah kesuksesan yang mereka
dapatkan ini. Ironis jika kita melihat bahwa sebesar 30% saham PT. JMI (Jogja
Magasa Iron) diduduga kuat dimiliki oleh pihak keraton Yogyakarta, dan dengan
demikian mereka juga membantu melancarkan dari PT.JMI ini. Oleh karena itu,
jelas sekali bentuk imperialisme modern ini sangat menyiksa rakyat Indonesia,
diperburuk lagi dengan ikut sertanya pemerintah-pemerintah yang seharusnya
pro-rakyat malah membantu untuk kesuksesan perusahaan asing. Agenda semacam ini
sungguh-sungguh miris jika kita resapi, karena ternyata imperialisme di
Indonesia juga dilakukan oleh pemerintah-pemerintahnya sendiri. Lalu, sampai
kapankah rakyat Indonesia terus dijajah seperti ini?, ini adalah pertanyaan
besar yang bisa dijawab setelah pemerintah-pemerintah Indonesia mengubah mental
mereka.