Antara Pro dan Kontra dalam masyarakat Yogyakarta sendiri untuk menentukan antara penetapan atau pemilihan???


KUBU PRO

..............................................................

Undang-undang keistimewaan yogyakarta yang selama terkatung-katung (RUUK DIY) akhirnya disahkan DPR dalam sidanag paripurna Kamis (30/8/2012). Undang-undang yang memakan waktu bertahun-tahun ini menyangkut hajat hidup masyarakat jogja tentang keistimewaan dan kekhususan daerahnya akhirnya mengukuhkan Raja Yogya di Republik Indonesia.


        Substansi yang selama ini menjadi permasalahan dalam RUU DIY itu telah diambil jalan tengah. Terkait jabatan Gubernur/Wakil Gubernur DIY apakah melalui mekanisme pemilihan langsung atau penetapan, akhirnya diambil keputusan dengan melakukan penetapan Gubernur DIY. Dalam Undang-undang Keistimewaan DI Yogyakarta (UUK DIY) Bab VI tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur diatur secara detil mulai soal persyaratan cagub/cawagub DIY (pasal 18). Di bagian kedua mengatur Tata Cara Pengajuan Calon (pasal 19 dan 20), bagian ketiga tentang verifikasi dan penetapan (Pasal 21, 22, 23, 24, 25, 26) serta bagian keempat tentang pelantikan gubernur dan wakil gubernur (pasal 27).
       Bagian yang menarik dari bab ini salah satunya terkait dengan syarat calon Gubernur/Wakil Gubernur DIY di pasal 18 huruf (n) disebutkan syarat calon sebagai anggota partai politik. Atas persyaratan inilah, secara otomatis Gubernur DIY saat ini Sri Sultan HB X harus melepaskan keanggotaannya di Partai Golkar. Saat ini, Sultan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Partai Golkar.
       Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo menyebutkan implikasi dari pengesahan UUK DIY ini ke depan, kesultanan dan pakualaman harus melakukan perubahan. "Mereka harus menyiapkan pemimpin. Seorang Sultan yang akan menjadi gubernur itu mau tidak mau harus memenuhi seluruh persyaratan gubernur yang ada," kata Ganjar.
     Ganjar menyebutkan, jika dalam perjalanannya Gubernur/Wagub DIY terjerat masalah korupsi, secara otomatis tidak memenuhi syarat. "Posisi sebagai Sultan tetap, tapi posisi gubernur kosong. Makanya Sultan harus hati-hati, harus menjadi sebuah filosofi dari amanah yang kerakyatan, yang mengayomi, yang baik-baik," papar politikus PDI Perjuangan ini.
       Terkait pengesahan UUK DIY ini, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PAN Abdul Hakam Naja mengatakan kecil kemungkinan UU ini mendapat gugatan dari publik. "Saya kira tidak akan ada persoalan di UUK DIY ini," ujar Hakam optimistis.
      Persoalan yang selama ini krusial seperti masalah pertanahan, kata Hakam juga dapat diselesaikan dengan baik. Pihak keraton menyetujui kewajiban pendaftaran di Badan Pertanahan Nasional (BPN), begitu juga soal keuangan. "Saya pikir belum ada hal yang terjadi permasalahan, digugat maupun macet implementasinya," tambah Hakam yakin.
         Sultan HB X memastikan akan keluar dari Partai Golkar seiring dengan pengesahan UUK DIY. “Saya pasti akan keluar dari Golkar karena itu sesuai dengan undang-undangnya. Tapi ya tidak saat ini, nanti cari momentum yang tepat,” tegas Sultan. UUK DIY ini dipastikan akan segera terlaksana seiring berakhirnya masa perpanjangan jabatan Sultan HB X sebagai gubernur DIY pada 9 Oktober mendatang.Setelah melalui beberapa masa persidangan di DPR, Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akhirnya berhasil disahkan menjadi UU melalui rapat paripurna DPR.
        Meski ada polemik, pengesahan UUK ini sedikit melegakan hati masyarakat Yogya. Sebab, nasib Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam ke depan terkatung-katung selama UUK tersebut masih berkutat di DPR.
 
       Salah satu persoalan dalam alotnya proses pembahasan UUK tersebut menyangkut proses pengangkatan Sri  Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Ada yang menginginkan melalui penetapan oleh DPRD, ada yang menginginkan melalui mekanisme pemilihan langsung di Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Usai melewati polemik yang panjang, diputuskanlah Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam bisa menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur melalui mekanisme penetapan oleh DPRD DIY. Tetapi ada catatan yang mensyaratkan kedua pimpinan Yogyakarta tersebut tidak boleh berkencimpung dalam aktivitas politik praktis. Hal ini tertulis dalam BAB VI mengenai pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, pasal 18 ayat (1) huruf n yang berbunyi, calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Reublik Indonesia yang harus memenuhi syarat bukan sebagai anggota partai politik.
        Dalam ayat (2) huruf m juga disebutkan, kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat pernyataan bukan sebagai anggota partai politik, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
         Bunyi aturan inilah yang kemudian melahirkan polemik baru. Aturan tersebut dinilai sebagai upaya mengganjal Sri Sultan maju sebagai bakal calon presiden 2014 mendatang, mengingat namanya selama ini sudah digadang-gadang oleh beberapa kalangan. Polemik juga muncul, mengenai aturan larangan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur tidak boleh ikut berpartai sebaiknya jangan hanya untuk DIY, tetapi berlaku diberlakukan untuk daerah lainnya termasuk jabatan Bupati, Wali Kota, Menteri , bahkan Presiden. Sementara itu, mengenai bagaimana tata cara pengajuan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DIY diatur dalam pasal 19 ayat  (1), yaitu DPRD DIY memberitahukan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur serta Kasultanan dan Kadipatenan tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur paling lambat tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
.
       Ayat (2) menerangkan, berdasarkan pemberitahuan dari DPRD DIY sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur dan Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai calon Wakil Gubernur paling lambat 30 hari setelah surat pemberitahuan DPRD DIY diterima.
     Ayat (3) Kesultanan dan Kadipaten pada saat mengajukan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur kepada DPRD DIY menyerahkan, surat pencalonan untuk calon Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan Ngyogyakarta Hadiningrat; surat pencalonan untuk calon Wakil Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Kasentanan Kadipaten Pakualaman; surat pernyataan kesediaan Sultan Hamengku Buwono yang bertahta sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai calon Wakil Gubernur; dan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2).
      Setelah itu DPRD DIY (pasal 20) membentuk panitia khusus penyusunan tata tertib penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur. Selanjutnya (pasal 21, 22, dan 23) DPRD DIY melakukan verifikasi melalui panitia khusus terhadap dokumen persyaratan Sultan Hamengku Buwono sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai calon Wakil Gubernur. Selanjutnya, dalam pasal 24 DPRD DIY menyelenggarakan rapat paripurna dengan agenda pemaparan visi, misi, dan program calon Gubernur paling lambat tujuh hari setelah diterimanya hasil penetapan dari panitia khusus. Setelah menyampaikan visi, misi, dan program, DPRD DIY kemudian menetapkan Sultan Hamengku Buwono yang bertahta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai Wakil Gubernur. Usai ditetapkan, sesuai ketentuan pasal 27, keduanya akan dilantik oleh Presiden. Jika Presiden berhalangan, pelantikan dilakukan oleh Wakil Presiden. Jika Wakil Presiden juga berhalangan, maka pelantikan dilakukan oleh menteri . Dalam UUK DIY tersebut, selain menyangkut mekanisme pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY juga diatur mengenai kelembagaan, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Selain itu juga diatur mengenai Perda, Perdais, peraturan Gubernur, dan keputusan Gubernur. Bahkan, mengenai pendanaannya juga diatur dalam UUK DIY tersebut, termasuk ketentuan lain-lain

KUBU KONTRA

......................................................................

Paguyuban Rakyat Jogja Semesta sebagai wadah masyarakat jogjakarta yang melawan dan mendukung diadakannya pemilihan sebagai pendidikan demokrasi serta mengakui konsitutusi tertinggi dengan sistem demokrasi yang bersifat stagnan

            
        Penolakan tentang Penetapan Sultan dan Paku Alam, Kubu Pro Pemilihan Gelar Unjuk Rasa|
Aloysius Budi Kurniawan/KOMPAS Ratusan pendukung pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Jogja Semesta berdemonstrasi di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Minggu (11/3/2012) siang.
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Ratusan pendukung pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Jogja Semesta berdemonstrasi di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Minggu (11/3/2012) siang.
         Mereka beranggapan, penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY mengingkari hak asasi manusia. Bagi mereka, opsi pemilihan dinilai lebih memiliki dasar yuridis dan sesuai konstitusi. Massa yang datang menggunakan lebih dari tiga bus tersebut mulai berkumpul sekitar pukul 10.00 di sebelah barat pintu gerbang masuk UGM. Sekitar pukul 11.00, massa baru mulai berkumpul di Bundaran UGM untuk mendengarkan orasi dan menggelar spanduk-spanduk bertuliskan "Jogja Istimewa Tanpa Penetapan", "Tanah untuk Rakyat" dan sebagainya. Dalam orasinya, Koordinator Aksi Muhammad Ulin el Huda mengatakan, jabatan Gubernur DIY bukanlah warisan. "Kalau demikian yang terjadi secara terus-menerus, maka yang terjadi adalah korupsi, perampasan tanah rakyat," ucapnya.


         Terkait status tanah di DIY, Ulin beranggapan, sesuai amanah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 harus dijalankan. "Kalau memang Yogyakarta menjadi bagian dari NKRI, maka tanah ya menjadi hak rakyat seperti tanah yang sudah digarap selama 20 tahun ya harus diserahkan ke masyarakat atas dasar hukum ke negara," ujarnya. Menanggapi aksi ini, Ketua Sekretaris Bersama Keistimewaan DIY Widihasto Wasana Putra mengatakan, munculnya aspirasi masyarakat yang berbeda adalah sesuatu yang biasa. Yang jelas, penetapan sudah menjadi keputusan sidang paripurna DPRD Provinsi. DIY. Menurut Hasto, secara yuridis, negara menganut prinsip lex specialis untuk daerah-daerah tertentu, seperti seperti Nangro Aceh Darussalam, DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Papua. "Hingga saat ini penetapan merupakan keputusan mayoritas rakyat yang sudah ditetapkan DPRD Provinsi DIY. Suara seperti itu tidak mengubah keputusan yang sudah ada," kata dia.
      Hasto menuding gerakan ini hanyalah "pesanan" dari sebagian elit politik untuk membuat kesan bahwa seolah-seolah ada suara lain di DIY. Terkait soal tanah, menurut Hasto Undang-Undang Pokok Agraria sendiri semestinya dibaca secara keseluruhan dan tidak sepenggal-penggal. "Secara defakto, Sultan sudah membagi-bagikan tanah kepada rakyat dan masyarakat desa sebelum 1945 tanpa harus membayar.Kalau memang mereka ingin menuntut hak, semestinya mereka bisa menempuhnya melalui jalur resmi atau secara hukum," paparnya.



TAHAP PENGUSULAN PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA 2012-2013

 SIFAT DAN ISI TULISAN
              Sifat dan isi tulisan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
1. Kreatif dan Objektif
  •  Tulisan berisi gagasan kreatif yang menawarkan solusi suatu permasalahan yang berkembang di masyarakat.
  • Tulisan tidak bersifat emosional atau tidak subjektif.
  • Tulisan didukung data dan/atau informasi terpercaya.
  •  Bersifat asli (bukan karya jiplakan) dan menjauhi duplikasi.

2. Logis dan Sistematis
  • Tiap langkah penulisan dirancang secara sistematis dan runtut.
  • Pada dasarnya karya tulis ilmiah memuat unsur-unsur identifikasi masalah, analisissintesis, kesimpulan dan sedapat mungkin memuat saran-saran.
  • Isi tulisan berdasarkan telaah pustaka atau fiksi-sains.

4. Materi Karya Tulis
        Materi yang ditulis tidak harus sejalan dengan bidang ilmu yang sedang ditekuni para penulis/mahasiswa. Kesempatan ini diberikan kepada mahasiswa yang memiliki ide kreatif dan mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan, walaupun yang bersangkutan tidak sedang belajar secara formal di bidang tersebut. Materi karya tulis merupakan isu mutakhir atau aktual.

PETUNJUK PENULISAN
               Petunjuk penulisan/pengetikan PKM-GT, tata bahasa yang digunakan, format halaman kulit muka, dan format halaman pengesahan mengikuti ketentuan yang ditetapkan untuk artikel PKM-AI. Jumlah halaman artikel PKM-GT ditetapkan sebanyak-banyaknya 15 (lima belas) halaman termasuk daftar pustaka dan lampiran (jika diperlukan).

SISTEMATIKA PENULISAN
               Sistematika penulisan hendaknya berisi rancangan yang teratur sebagai berikut.
1. Bagian Awal
a. Halaman Kulit Muka.
  • Judul diketik dengan huruf besar, hendaknya ekspresif, sesuai dan tepat dengan masalah yang ditulis dan tidak membuka peluang untuk penafsiran ganda.
  •  Nama penulis dan nomor induk mahasiswa ditulis dengan jelas
  •  Perguruan tinggi asal ditulis dengan jelas.
  •  Tahun penulisan.

b. Halaman Pengesahan.
  •  Lembar pengesahan memuat judul, nama penulis, dan nomor induk.
  •  Lembar pengesahan ditandatangani Dosen Pembimbing, dan Pembantu Rektor/Ketua/Direktur Bidang Kemahasiswaan lengkap dengan stempel perguruan tinggi.
  •  Lembar pengesahan diberi tanggal sesuai dengan tanggal pengesahan. 50

c. Kata Pengantar dari penulis.

d. Daftar Isi dan daftar lain yang diperlukan seperti daftar gambar, daftar tabel, dan daftar lampiran.

e. Ringkasan (bukan abstrak) karya tulis disusun maksimum 1 (satu) halaman yang mencerminkan isi keseluruhan karya tulis, mulai dari latar belakang, tujuan, landasan teori yang mendukung, metoda penulisan, pembahasan, kesimpulan dan rekomendasi.

2. Bagian Inti
a. Pendahuluan
Bagian Pendahuluan berisi hal-hal sebagai berikut:
  • latar belakang yang berisi uraian tentang alasan mengangkat gagasan menjadi karya tulis (dilengkapi dengan data atau informasi yang mendukung),
  •  tujuan dan manfaat yang ingin dicapai.

b. Gagasan
           Bagian gagasan berisi uraikan tentang:
  • Kondisi kekinian pencetus gagasan (diperoleh dari bahan bacaan, wawancara, observasi, imajinasi yang relevan).
  •  Solusi yang pernah ditawarkan atau diterapkan sebelumnya untuk memperbaiki keadaan pencetus gagasan.
  •  Seberapa jauh kondisi kekinian pencetus gagasan dapat diperbaiki melalui gagasan yang diajukan.
  •  Pihak-pihak yang dipertimbangkan dapat membantu mengimplementasikan gagasan dan uraian peran atau kontribusi masing-masingnya.
  • Langkah-langkah strategis yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan gagasan sehingga tujuan atau perbaikan yang diharapkan dapat tercapai.

c. Kesimpulan
          Terdiri dari:
  • Gagasan yang diajukan.
  • Teknik implementasi yang akan dilakukan.
  • Prediksi hasil yang akan diperoleh (manfaat dan dampak gagasan).

3. Bagian Akhir
  • Daftar Pustaka ditulis untuk memberi informasi sehingga pembaca dapat dengan mudah menemukan sumber yang disebutkan. Penulisan daftar pustaka mengikuti ketentuan seperti dalam uraian artikel PKM-AI.
  • Daftar Riwayat Hidup (biodata atau curriculum vitae) peserta mencakup:

  1. nama lengkap,
  2. tempat dan tanggal lahir,
  3. karya-karya ilmiah yang pernah dibuat,
  4. penghargaan-penghargaan ilmiah yang pernah diraih.

  • Lampiran jika diperlukan, seperti: foto/dukumentasi, data dan informasi lainnya yang mendukung isi tulisan.
Selamat Berkompetisi....... GOOD LUCK

KRITIS SECARA ILMIAH: KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANDIREKTORAT JE...

KRITIS SECARA ILMIAH: KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANDIREKTORAT JE...: KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI Gedung DIKTI Jl. Jenderal Sudirman Pintu I, Senayan, Jaka...

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI

Gedung DIKTI Jl. Jenderal Sudirman Pintu I, Senayan, Jakarta 10270
Telepon: (021) 70322640; Faks. (021) 5731846, 57946085
Nomor : 3163/E5.3/KPM/2012 24 September 2012
Lampiran : 1 (satu) berkas
Perihal : Penerimaan Proposal Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM) Tahun 2012 didanai 2013

Kepada Yth :
1. Rektor/Ketua/Direktur Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta,
2. Koordinator Kopertis Wilayah I s.d XII
di seluruh Indonesia.

              Bersama ini dengan hormat kami sampaikan bahwa, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Pendidikan Tinggi memberi kesempatan kepada mahasiswa perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk mengajukan usulan proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 5 bidang yaitu : PKMP, PKMM, PKMK, PKMT dan PKMKC yang akan didanai tahun 2013. Perlu kami informasikan bahwa sesuai panduan PKM tahun 2012, pengajuan usulan proposal dan tata cara pengiriman proposal On-Line ke Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (Dit. Litabmas) dapat
di download pada website http://dikti.go.id, dengan headline : Usulan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2012. Sehubungan hal tersebut di atas, kami mohon ag ar Saudara berkenan
menginformasikan program dimaksud kepada mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi Saudara, sebagai berikut :

1. Pendaftaran dilakukan Oleh Staf bagian Kemahasiswaan Perguruan Tinggi dengan alamat    http://simlitabmas.dikti.go.id
2. Pengunggahan dokumen dilakukan oleh mahasiswa setelah proses pendaftaran yang dilakukan selesai.
3. Pendaftaran dan pengunggahan dokumen usulan on-line mulai tanggal 29 Oktober s.d. 9 November 2012, apabila lewat dar i batas waktu yang telah ditentukan maka proses pendaftaran dan pengunggahan tidak dapat dilakukan.
4. Dit. Litabmas tidak menerima Proposal Usulan dalam bentuk Hardcopy (dokumen tersebut disimpan di Perguruan Tinggi pengusul untuk keperluan administrasi).

              Selanjutnya mohon dapat mengirimkan alamat email Perguruan Tinggi Saudara melalui email ke pkm.dp2m@dikti.go.id untuk pengiriman user dan password operator kemahasiswaan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih

.
Direktur Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat,




ttd

Tembusan Yth.:
1. Dirjen Pendidikan Tinggi (sebagai laporan)
 Agus Subekti
 NIP. 19600801 198403 1 002

2. Wakil/Pembantu Rektor/Ketua/Direktur Bidang Kemahasiswaan PTN dan PTS

3. Sekretaris Pelaksanan Kopertis Wil I s/d XII
REFERENSI DUNIA HUKUM

        Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1.      Perlindungan hak asasi manusia.
2.      Pembagian kekuasaan.
3.      Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4.      Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1.      Supremacy of Law.
2.      Equality before the law.
3.      Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:

1.      Negara harus tunduk pada hukum.
2.      Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3.      Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’. 
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara hukum di zaman sekarang.
Dari uraian-uraian di atas, menurut pendapat saya, kita dapat merumuskan kembali adanya dua-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.

1.      Supremasi Hukum (Supremacy of Law):

       Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2.      Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3.      Asas Legalitas (Due Process of Law):

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

4.      Pembatasan Kekuasaan:

Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5.      Organ-Organ Eksekutif Independen:

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi pro-demokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

6.      Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7.      Peradilan Tata Usaha Negara:

Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.

8.      Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):

Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional courts) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini dibweri fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.

9.      Perlindungan Hak Asasi Manusia:

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10.  Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

11.  Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat):

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.

12.  Transparansi dan Kontrol Sosial:

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.

            Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 12 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
           Perlu dipahami juga bahwa latar belakang sejarah historis yang memengaruhi Hukum nasional kita sekarang adalah pengaruh kedatangan bangsa Asing yang menaruh ideologi yang awalnya sebagai pencitraan berubah menjadi sistem penjajahan yang kemudian diartikan sebaglai pelanggaran sosial atas Hak asasi manusia. Belanda-lah yang dengan doktrinnya memberikan warna yang paling menonjol menghasilkan Hukum nasional kita sekarang mulai dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), KUndUHAPER (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ) Produk belanda ini meskipun telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan kenyataan sosial yang ada di masyarakat kita sekarang ini, tetapi masih banyak menyimpan kekurangan beserta penerapannya, menjadi tugas kita bersama untuk tidak acuh dan apatis.

HUKUM DI DALAM MASYARAKAT

           Merupakan hal yang sangat mendasar bahwa hukum sangat erat dan mengerat dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebagai negara yang menjadikan Hukum sebagai acuan untuk menjalankan tugas dan tujuan negara Indonesia dikaitkan dengan berbagai macam permasalahan yang sangat kompleks atas keberadannya diantara permasalahannya adalah belum semua secara utuh diterimanya Hukum dalam masyarakat Hukum adat dalam arti tidak membentuk aturan yang berlawan ideologi negara kita sebenarnya hal ini merupakan argumen pribadi saya karna mengingat pluralisme dalam masyarakat adat  kita sekarang masih sangat kental bahkan lebih kuat daripada keberadaan Hukum positiv sekarang ini. Tapi hal yang menjadi acuan adalah sifat Hukum unity karna jika tidak semua masyarakat akan terpecah-pecah dalam ideologi Hukumnya masing-masing. Saya merumuskan 3 poin bebearapa Faktor yang masih rancuh dalam Hukum kita :

  1. Latar belakang dari produk Hukum yang memang masih jauh dengan perkembangan dan kedinamisan kenyataan sosial Indonesia hari ini yang memang pada dasarnya masih mempertahankan pola yang sangat kadaluwarsa sehingga timbullah permasalahan teknis dan prakteknya yang bagi orang awam dalam Hukum pasti akan mengatakan Hukum kita tidak memihak pada masyarakat padahal jika kita lihat memang esensi dari Hukum kita seperti itu, tidak sedikit kasus yang menjadi pertanyaan besar ketika iu dihadapkan dengan Budaya dan kultur bangsa kita yang menganut nilai-nilai dan norma-norma. banyak bukti pengadilan yang bagi kita merasakan ada kerancuan didlamnya. sebagai contoh, adalah pada kasus Tempat hiburan malam yang berada di Makassar yang dijadikan praktek Prostitusi  (pertukaran hubungan seksual dng uang atau hadiah sbg suatu transaksi perdagangan)  dalam putusan pengadilan disebutkan denda sebesar Rp.500.00,00 (Lima ratus ribu rupiah) yang jika kita melihat efeknya dan melihat kebudayaan kita sangat melawan dengan aspek norma dan kaidah yang ada, apa yang menjadi penyebabnya adalah kembali pada produk Hukum yangada sekarang olehnya itu dalam keputusan itu kita harus merevisi dan Hakim sebagai penerjemahnya harus melihat kerugian dari segala aspeknya karna dalam buku yang ditulis oleh Alm.Prof.Dr.Achmad Ali SH,.MH (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) dalam bukunya menguak teori Hukum mengatakan bahwa Hakim tidak Boleh dijadikan terompet Undan-Undang artinya Hakim sebagai acuan dalam mengambil keputusan tidak hanya berpatokan pada Hukum tertulis saja tetapi harus melihat bagaimana relevansi Hukuman yang diberikan itu apakah sejalan dengan perkembangan zaman dan kenyataan sosial yang ada dalam negara yang menganut "kebhinnekaan" Indonesia tercinta.
  2. Kualitas pengambil kebijakan yang mempengaruhi produk Hukum itu sendiri, keuletan dan kebersihan hati bagi para pemimpin kita di senayan sana menjadi tolak ukurnya karna dialah lembaga yang mempunyai kekuasaan penuh atas revisi ataupun amandemen atas Hukum kita. menjadi hal yang sangat penting bagi kebutuhan kita  saat ini jika para berdasi dapat membedakan anatar kepentingan politik dan kepentingan Hukum ini yang harus penulis tegaskan disini adalah wajah Hukum berbeda dengan Wajah Perpolitikan Hukum tidak pernah membedakan atas ras, agama ataupun golongan karna Peraturan itu sangat tegas dlam Hukum kita, perpolitikan jika disamakan dengan Hukum itu salah besar dan menjadi tugas kita bersama untuk menyelesaikkannya meskipun senayan mempunyai kekuasaan atas itu tetapi kita tidak boleh saja langsung menelan tetap kita harus turut mengunyah artinya kita harus peka dan merespon kebijakn pemerintah dengan tidak meninggalkan cara-cara yang baik pula. Kualitas pengambil kebijakan sangat diharapkan seperti itu demi untuk kepentingan Indonesia sendiri bukan kepentingan golongannya masin-masing.
  3. Kelahiran Hukum nasional kita sekarang yang banyak dipengaruhi oleh latar belakang Historis kedatangan bangsa asing. Dimulai dengan pra-kedatangan bangsa asing kita menganut sistem Hukum adat (sebelum kemerdekaan) dengan di awali dengan zaman kerajaan-kerajaan, setelah itu masuklah pengaruh-pengaruh bangsa asing dimulai dengan kedatangan bangsa Asing pertama yaitu (Bangsa arab persia) yang menanamkan ajaran Hukum islam dengan langkah-langkah perdagangan, perkawinan dan lain-lain agar doktrin ini bisa diterima secara cepat. Hasilnya adalah Hukum Islam dapat cepat berkembang dan dari kerajaan-kerajaan Islam pun lahir karna dianggap sesuai dengan kebudayaan Indonesia pada zaman itu, setelah itu dengan hampir dalam kurun waktu yang bersamaan datang bangsa asing kedua yaitu bangsa eropa ( Belanda dan sekutunya) karna islam tidak mempraktikkan kekuasaan dan kekerasan olehnya itu Hukum islam tergeser oleh Hukum barat karna memang kecanggihan alat dan SDM barat pada saat itu memang sudah cukup kuat jika dibandingkan kedatangan bangsa Islam yang dengan pendekatan Persuasif. dengan sistemnya yang menganut sistem paksaan dan menjadikan kekuasaan adalah kedaulatan yang tertinggi Hukum barat dengan praktek penjajahannya membuat bangsa kita terjajah hingga 3,5 abad lamanya, dan inilah yang memberikan pengaruh dan corak yang sangat besar atas kelahiran Hukum Nasional kita dewasa ini.