Undang-undang keistimewaan yogyakarta yang selama terkatung-katung (RUUK DIY) akhirnya disahkan DPR dalam sidanag paripurna Kamis (30/8/2012). Undang-undang yang memakan waktu bertahun-tahun ini menyangkut hajat hidup masyarakat jogja tentang keistimewaan dan kekhususan daerahnya akhirnya mengukuhkan Raja Yogya di Republik Indonesia
Perdebatan baik di kalangan masyarakat dan birokrat mengenai keistimewaan yogyakarta adalah Substansi yang selama ini menjadi permasalahan dalam RUU DIY itu telah diambil jalan tengah. Terkait jabatan
Gubernur/Wakil Gubernur DIY apakah melalui mekanisme pemilihan langsung atau
penetapan, akhirnya diambil keputusan dengan melakukan penetapan Gubernur DIY. Dalam Undang-undang Keistimewaan DI
Yogyakarta (UUK DIY) Bab VI tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur diatur secara detil mulai soal persyaratan cagub/cawagub DIY (pasal
18). Di bagian kedua mengatur Tata Cara Pengajuan Calon (pasal 19 dan 20),
bagian ketiga tentang verifikasi dan penetapan (Pasal 21, 22, 23, 24, 25, 26)
serta bagian keempat tentang pelantikan gubernur dan wakil gubernur (pasal 27).
Bagian yang menarik dari bab ini
salah satunya terkait dengan syarat calon Gubernur/Wakil Gubernur DIY di pasal
18 huruf (n) disebutkan syarat calon sebagai anggota partai politik. Atas
persyaratan inilah, secara otomatis Gubernur DIY saat ini Sri Sultan HB X harus
melepaskan keanggotaannya di Partai Golkar. Saat ini, Sultan menjadi anggota
Dewan Pertimbangan Partai Golkar.
Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar
Pranowo menyebutkan implikasi dari pengesahan UUK DIY ini ke depan, kesultanan
dan pakualaman harus melakukan perubahan. "Mereka harus menyiapkan
pemimpin. Seorang Sultan yang akan menjadi gubernur itu mau tidak mau harus
memenuhi seluruh persyaratan gubernur yang ada," kata Ganjar.
Ganjar menyebutkan, jika dalam
perjalanannya Gubernur/Wagub DIY terjerat masalah korupsi, secara otomatis
tidak memenuhi syarat. "Posisi sebagai Sultan tetap, tapi posisi gubernur
kosong. Makanya Sultan harus hati-hati, harus menjadi sebuah filosofi dari
amanah yang kerakyatan, yang mengayomi, yang baik-baik," papar politikus
PDI Perjuangan ini.
Terkait pengesahan UUK DIY ini,
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PAN Abdul Hakam Naja mengatakan kecil
kemungkinan UU ini mendapat gugatan dari publik. "Saya kira tidak akan ada
persoalan di UUK DIY ini," ujar Hakam optimistis.
Persoalan yang selama ini krusial
seperti masalah pertanahan, kata Hakam juga dapat diselesaikan dengan baik.
Pihak keraton menyetujui kewajiban pendaftaran di Badan Pertanahan Nasional
(BPN), begitu juga soal keuangan. "Saya pikir belum ada hal yang terjadi
permasalahan, digugat maupun macet implementasinya," tambah Hakam yakin.
Sultan HB X memastikan akan keluar
dari Partai Golkar seiring dengan pengesahan UUK DIY. “Saya pasti akan keluar
dari Golkar karena itu sesuai dengan undang-undangnya. Tapi ya tidak saat ini,
nanti cari momentum yang tepat,” tegas Sultan. UUK DIY ini dipastikan akan segera
terlaksana seiring berakhirnya masa perpanjangan jabatan Sultan HB X sebagai
gubernur DIY pada 9 Oktober mendatang.Setelah melalui
beberapa masa persidangan di DPR, Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK)
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akhirnya berhasil disahkan menjadi UU melalui
rapat paripurna DPR.
Meski ada polemik, pengesahan UUK ini sedikit melegakan hati masyarakat Yogya.
Sebab, nasib Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam ke depan terkatung-katung
selama UUK tersebut masih berkutat di DPR.
Salah satu persoalan dalam alotnya proses pembahasan UUK tersebut menyangkut
proses pengangkatan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY. Ada yang menginginkan melalui penetapan oleh DPRD, ada yang
menginginkan melalui mekanisme pemilihan langsung di Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pemilukada). Usai melewati polemik yang panjang, diputuskanlah Sri Sultan Hamengku Buwono
dan Paku Alam bisa menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur melalui mekanisme
penetapan oleh DPRD DIY. Tetapi ada catatan yang mensyaratkan kedua pimpinan
Yogyakarta tersebut tidak boleh berkencimpung dalam aktivitas politik praktis. Hal ini tertulis dalam BAB VI mengenai pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur, pasal 18 ayat (1) huruf n yang berbunyi, calon Gubernur dan calon
Wakil Gubernur adalah warga negara Reublik Indonesia yang harus memenuhi syarat
bukan sebagai anggota partai politik.
Dalam ayat (2) huruf m juga disebutkan, kelengkapan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi surat pernyataan bukan sebagai anggota partai
politik, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf n.
Bunyi aturan inilah yang kemudian melahirkan polemik baru. Aturan tersebut
dinilai sebagai upaya mengganjal Sri Sultan maju sebagai bakal calon presiden
2014 mendatang, mengingat namanya selama ini sudah digadang-gadang oleh
beberapa kalangan. Polemik juga muncul, mengenai aturan larangan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur
tidak boleh ikut berpartai sebaiknya jangan hanya untuk DIY, tetapi berlaku
diberlakukan untuk daerah lainnya termasuk jabatan Bupati, Wali Kota, Menteri ,
bahkan Presiden. Sementara itu, mengenai bagaimana tata cara pengajuan calon Gubernur dan calon
Wakil Gubernur DIY diatur dalam pasal 19 ayat (1), yaitu DPRD DIY
memberitahukan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur serta Kasultanan dan
Kadipatenan tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur paling
lambat tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
.
Ayat (2) menerangkan, berdasarkan pemberitahuan dari DPRD DIY sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang
bertakhta sebagai calon Gubernur dan Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam
yang bertakhta sebagai calon Wakil Gubernur paling lambat 30 hari setelah surat
pemberitahuan DPRD DIY diterima.
Ayat (3) Kesultanan dan Kadipaten pada saat mengajukan calon Gubernur dan
calon Wakil Gubernur kepada DPRD DIY menyerahkan, surat pencalonan untuk calon
Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura
Kasultanan Ngyogyakarta Hadiningrat; surat pencalonan untuk calon Wakil
Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Kasentanan
Kadipaten Pakualaman; surat pernyataan kesediaan Sultan Hamengku Buwono yang
bertahta sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai
calon Wakil Gubernur; dan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 18 ayat (2).
Setelah itu DPRD DIY (pasal 20) membentuk panitia khusus penyusunan tata tertib
penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur. Selanjutnya (pasal 21, 22, dan 23) DPRD
DIY melakukan verifikasi melalui panitia khusus terhadap dokumen persyaratan
Sultan Hamengku Buwono sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai
calon Wakil Gubernur. Selanjutnya, dalam pasal 24 DPRD DIY menyelenggarakan rapat paripurna dengan
agenda pemaparan visi, misi, dan program calon Gubernur paling lambat tujuh
hari setelah diterimanya hasil penetapan dari panitia khusus. Setelah menyampaikan visi, misi, dan program, DPRD DIY kemudian menetapkan
Sultan Hamengku Buwono yang bertahta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam
yang bertahta sebagai Wakil Gubernur. Usai ditetapkan, sesuai ketentuan pasal 27, keduanya akan dilantik oleh
Presiden. Jika Presiden berhalangan, pelantikan dilakukan oleh Wakil Presiden.
Jika Wakil Presiden juga berhalangan, maka pelantikan dilakukan oleh menteri . Dalam UUK DIY tersebut, selain menyangkut mekanisme pengangkatan Gubernur dan
Wakil Gubernur DIY juga diatur mengenai kelembagaan, kebudayaan, pertanahan,
dan tata ruang. Selain itu juga diatur mengenai Perda, Perdais, peraturan
Gubernur, dan keputusan Gubernur. Bahkan, mengenai pendanaannya juga diatur dalam UUK DIY tersebut, termasuk
ketentuan lain-lain
Paguyuban Rakyat Jogja Semesta sebagai wadah masyarakat jogjakarta yang melawan dan mendukung diadakannya pemilihan sebagai pendidikan demokrasi serta mengakui konsitutusi tertinggi dengan sistem demokrasi yang bersifat stagnan
Aloysius Budi Kurniawan/KOMPAS Ratusan
pendukung pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY yang tergabung dalam
Paguyuban Rakyat Jogja Semesta berdemonstrasi di Bundaran Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta, Minggu (11/3/2012) siang.
YOGYAKARTA,
KOMPAS.com - Ratusan pendukung pemilihan gubernur dan wakil gubernur
DIY yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Jogja Semesta berdemonstrasi di
Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Minggu (11/3/2012) siang.
Mereka beranggapan, penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY mengingkari hak asasi manusia. Bagi mereka, opsi pemilihan dinilai lebih memiliki dasar yuridis dan sesuai konstitusi. Massa yang datang menggunakan lebih dari tiga bus tersebut mulai berkumpul sekitar pukul 10.00 di sebelah barat pintu gerbang masuk UGM. Sekitar pukul 11.00, massa baru mulai berkumpul di Bundaran UGM untuk mendengarkan orasi dan menggelar spanduk-spanduk bertuliskan "Jogja Istimewa Tanpa Penetapan", "Tanah untuk Rakyat" dan sebagainya. Dalam orasinya, Koordinator Aksi Muhammad Ulin el Huda mengatakan, jabatan Gubernur DIY bukanlah warisan. "Kalau demikian yang terjadi secara terus-menerus, maka yang terjadi adalah korupsi, perampasan tanah rakyat," ucapnya.
Mereka beranggapan, penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY mengingkari hak asasi manusia. Bagi mereka, opsi pemilihan dinilai lebih memiliki dasar yuridis dan sesuai konstitusi. Massa yang datang menggunakan lebih dari tiga bus tersebut mulai berkumpul sekitar pukul 10.00 di sebelah barat pintu gerbang masuk UGM. Sekitar pukul 11.00, massa baru mulai berkumpul di Bundaran UGM untuk mendengarkan orasi dan menggelar spanduk-spanduk bertuliskan "Jogja Istimewa Tanpa Penetapan", "Tanah untuk Rakyat" dan sebagainya. Dalam orasinya, Koordinator Aksi Muhammad Ulin el Huda mengatakan, jabatan Gubernur DIY bukanlah warisan. "Kalau demikian yang terjadi secara terus-menerus, maka yang terjadi adalah korupsi, perampasan tanah rakyat," ucapnya.
Terkait status tanah di DIY, Ulin beranggapan, sesuai amanah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 harus dijalankan. "Kalau memang Yogyakarta menjadi bagian dari NKRI, maka tanah ya menjadi hak rakyat seperti tanah yang sudah digarap selama 20 tahun ya harus diserahkan ke masyarakat atas dasar hukum ke negara," ujarnya. Menanggapi aksi ini, Ketua Sekretaris Bersama Keistimewaan DIY Widihasto Wasana Putra mengatakan, munculnya aspirasi masyarakat yang berbeda adalah sesuatu yang biasa. Yang jelas, penetapan sudah menjadi keputusan sidang paripurna DPRD Provinsi. DIY. Menurut Hasto, secara yuridis, negara menganut prinsip lex specialis untuk daerah-daerah tertentu, seperti seperti Nangro Aceh Darussalam, DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Papua. "Hingga saat ini penetapan merupakan keputusan mayoritas rakyat yang sudah ditetapkan DPRD Provinsi DIY. Suara seperti itu tidak mengubah keputusan yang sudah ada," kata dia.
Hasto menuding gerakan ini hanyalah "pesanan" dari sebagian elit politik untuk membuat kesan bahwa seolah-seolah ada suara lain di DIY. Terkait soal tanah, menurut Hasto Undang-Undang Pokok Agraria sendiri semestinya dibaca secara keseluruhan dan tidak sepenggal-penggal. "Secara defakto, Sultan sudah membagi-bagikan tanah kepada rakyat dan masyarakat desa sebelum 1945 tanpa harus membayar.Kalau memang mereka ingin menuntut hak, semestinya mereka bisa menempuhnya melalui jalur resmi atau secara hukum," paparnya.